Mengapa Ada Tawuran?
Akhir-akhir ini, hampir setiap media massa mengkaji berita
tentang tawuran atau kekerasan antarpelajar. Hal ini telah menjadi bahan
perbincangan publik yang tiada hentinya. Tawuran antar pelajar sudah sangat
sering terjadi, bahkan telah membudaya dan turun temurun sejak beberapa tahun
terakhir ini. Memang sungguh merupakan fenomena yang memprihatinkan bagi kita
semua.
Ada
begitu banyak solusi yang telah dilakukan untuk mengatasi tawuran. Namun,
hingga kini tawuran itu masih saja terjadi di bumi pertiwi ini. Ternyata jika
dinilai keakuratannya, solusi yang dilakukan hanya sebatas opini belaka karena
kurang menemukan alasan atau penyebabnya. Penyebab tawuran sangatlah komplek.
Berikut ini ada beberapa penyebab yang disimpulkan dari hasil wawancara dengan
beberapa pelajar yang sering terlibat dalam tawuran. Hal yang menjadi faktor
penyebab antara lain:
a.
Faktor pribadi
Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di
lain pihak, ia harus mengembangkan identitas diri secara positif. Ia harus
beralih dari reaksi kekanak-kanakan ke pertimbangan yang lebih rasional dan
dewasa. Oleh karena itu, remaja perlu memiliki pedoman tata nilai yang jelas.
Jika tidak, maka terjadi kekaburan nilai. Apa lagi jika tidak ada tokoh yang
dapat dijadikan panutan atau norma-norma masyarakat juga kabur dan tidak jelas.
Terjadilah krisis identitas pada diri remaja.
Tidak
tercapainya identitas diri yang positif, menimbulkan ketegangan (stress) dan
kecemasan pada remaja. Kekerasan merupakan sikap agresif sebagai pelampiasan
rasa frustasi. Mereka mengambil identitas negatif dan terjerumus pada kenakalan
remaja. Bagi mereka, lebih baik memperoleh suatu identitas, walaupun negative
daripada terombang-ambing dalam ketidaktentuan diri.
b.
Faktor lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang utama dan
pertama bagi seorang anak. Jika suasana keluarga kurang mendukung, pasti
terjadi gangguan perkembangan kejiwaan anak. Sumbernya, antara lain rumah
tangga kacau; orang tua sibuk dan kurang memperhatikan kebutuhan kasih sayang
bagi anak; orang tua terlalu memanjakan anak; kurangnya perhatian terhadap
pendidikan anak; perilaku orang tua yang “tidak dewasa” dan menyimpang.
Oleh karena itu keterlibatan orang tua dalam mendidik dan
mengarahkan anak pada nilai-nilai moral hendaknya diperhatikan. Orang tua harus
mampu menjadi sahabat untuk anak-anaknya. Tanggung jawab orang tua bukanlah
sekedar membesarkan anak, tetapi peran aktif orang tua dalam melihat
perkembangan kepribadian anak sangat diperlukan.
c.
Faktor lingkungan kelompok sebaya
Jika kondisi di rumah kurang menunjang, anak akan mencari
perhatian dan identitas diri di luar. Pengaruh kelompok sebaya sangat besar.
Remaja ingin diterima kelompok sebayanya sehingga mau mengikuti “peraturan” dan
norma yang ditetapkan kelompok. Ada rasa bangga karena banyak kawan dan merasa
diri popular. Ukuran popularitas adalah kemewahan, kekuatan fisik, kelihaian,
dan sebagainya.
d.
Faktor lingkungan sekolah
Kondisi sekolah yang tidak menguntungkan proses pendidikan
pada anak, keadaan guru dan system pengajaran yang tidak menarik, menyebabkan
anak cepat bosan. Lingkungan sekolah tidak menarik perhatian anak. Untuk
menyalurkan rasa tidak puasnya, mereka meninggalkan sekolah dan bergabung
dengan kelompok anak-anak yang tidak sekolah, yang pekerjaannya hanya
berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Jumlah siswa yang terlalu besar, kesenjangan sosial-ekonomi,
baik antara para pelajar maupun antara pelajar dengan guru; disiplin dan tata
tertib sekolah yang rendah; kurangnya sarana dan prasarana sekolah; kurikulum
yang kurang memadai; guru yang kurang dedikasi atau kurang memahami didaktik
atau metodik mengajar; kurangnya kegiatan ekstrakurikuler, merupakan faktor
penyebabnya.
Belum lagi, jika sekolah pun acuh tak acuh pada anak didik.
Mereka tidak peduli dengan perkembangan siswanya. Pihak sekolah abai membantu
mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Dengan bahasa lain, sekolah jalan
sendiri tanpa memperhatikan secara optimal keberadaan pelajar di sekolah.
Walhasil, siswa mencari identitas dan eksistensi secara mandiri. Apabila
pelajar terjebak pada geng-geng, pergaulan kelompok yang tak produktif sekolah
jangan menyalahkan siswa. Pihak sekolah harus mengintrospeksi diri tentang
mekanisme yang dilakukan sekolah dalam mendidik siswanya.
e.
Faktor lingkungan masyarakat
Kondisi soial-ekonomi, besarnya jurang antara kelompok yang
‘punya’ dan ‘yang tidak punya’; kurangnya sarana transportasi, lingkungan fisik
perkotaan dan yang tidak mendukung perkembangan diri anak dan remaja, situasi
politik yang tidak menentu, lemahnya penegakan hukum, rendahnya disiplin
masyarakat, dan pengaruh media massa merupakan penyebab meningkatnya budaya
kekerasan.
Dengan
melihat fenomena runyam dan memprihatinkan ini, sudah sepantasnya bagi kita
semua untuk mencoba mencari solusi atau jawaban atas realita yang ada. Tawuran
atau kekerasan antarpelajar kini harus dicegah, karena masa depan bangsa ini
sesungguhnya ada di tangan mereka. Bagaimana jadinya bangsa ini, jika mental
generasi penerusnya sudah seperti ini? Bukankah itu merupakan suatu kegagalan
besar bagi bangsa ini?
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ide yang
signifikan untuk mencegah agar tindakan anarkisme pelajar sekolah tidak lagi
terulang di Jakarta atau di daerah-daerah lain. Tindakan brutal bukan cermin
kepribadian pelajar dan dunia pendidikan negeri ini. Karena itu, kita berharap pemerintah,
sekolah, lingkungan sosial, keluarga dapat bersinergi mengatasi tawuran pelajar
yang sangat meresahkan kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar