- BUDAYA TAWURAN ANTAR PELAJAR
- Melihat dari beberapa peristiwa tawuran yang disuguhkan oleh pelajar menunjukkan seolah-olah tawuran antarpelajar ini sudah menjadi kebanggan siswa di Indonesia.
- Lantas siapa yang disalahkan?
- Dalam tataran awal, dalam lingkungan keluarga, kita meyakini
bahwa orang tua selalu mengajarkan dan mendidik anak- anaknya agar
mampu bertindak dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau norma
sosial yang berlaku. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan norma agama,
etika, sopan santun, adat istiadat tentu yang memiliki tujuan. Tujuan
mereka agar anaknya nanti menjadi anak yang berguna bagi Nusa dan
Bangsa. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam lingkungan
keluarga terjadi penerapan yang salah dari orang tua terhadap anak.
Orang tua dalam kapasitasnya sebagai pemasuk sumber ekonomi kerap tidak
memperhatikan anak, atau kebutuhan anak dan orang tua hanya berpatokan
pada pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan tanpa melihat karakter dan
pergaulan anak di lingkungan masyarakat.
Jika dilihat dari sisi kemiskinan sebagai salah satu faktor kekerasan atau tawuran antar pelajar itu maka penulis tidak setuju. Bagi sebagian besar orang tua gambaran kasih sayang yang berlebihan sama sekali tidak baik kepada anak. Dengan mudah anak memiliki handphone canggih yang harganya mahal dan justru mempermudah anak untuk belajar hal hal yang belum pantas dipelajari. Padahal jika menilik dari kelengkapan sarana anak belajar di rumah, maka dalam hal ini orang tua mengedepankan kebutuhan anak di luar belajar, motor dan bahkan mobil sesungguhnya bukan sebagai penunjang dari proses belajar itu.
Keluarga juga dalam hal ini orang tua terkesan membela anak dalam kesalahan kesalahan yang dilakukan anak disekolah. Siapa yang melakukan tawuran antarpelajar mungkin ada diantara mereka anak pejabat, siapa yang melakukan balapan liar? Apakah orang miskin bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas begitu, dan yang melakukan seks bebas pelajar dari kalangan mana? Jadi kemiskinan bukan faktor tawuran antar pelajar.
Yang kedua dalam lingkungan masyarakat, anak memiliki kebutuhan yang tidak semuanya dapat dipenuhi oleh keluarga sehingga anak keluar rumah dan menemukan orang lain atau faktor lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. Kasih sayang yang tidak ditemukan dalam keluarganya ditemukan dalam diri orang lain. Kenyataan ini sering kita lihat dari anak yang cenderung melanggar norma norma sosial setelah beradaptasi dalam masyarakat. Hampir tiap hari kita melihat bahwa tidak ada lagi batasan-batasan pergaulan antara anak yang masih sekolah dengan pengangguran yang bertebaran diseluruh sudut kota bahkan sampai ke desa.
Yang ketiga lingkungan sekolah. Kecenderungan kita selama ini ketika terjadi penyimpangan sosial oleh anak dalam kapasitasnya sebagai pelajar maka kita mengkambing hitamkan sekolah. Perlu diketahui keterbatasan keluarga mengakibatkan keluarga tersebut mencari lembaga lain untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang salah satu diantaranya kebutuhan akan pendidikan. Akan tetapi yang paling penting atau paling mendasar adalah baik dan buruknya penerapan norma-norma agama, etika, sopan santun, adat istiadat kepada anak oleh orang tua mau tidak mau akan terbawa ke sekolah. Memang ada hal-hal lain yang sangat prinsip yang harus dilakukan sekolah dalam pembinaan karakter dan mental anak, akan tetapi inipun tidak akan berguna jika tidak mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat.
Memang zaman sekarang sekolah terlalu mengedepankan nilai-nilai akademik demi menunjang tingkat kelulusan ataupun kenaikan kelas karena pada kenyataannya keluarga dan masyarakat terkadang tidak bisa menerima apabila anak dinyatakan tidak lulus atau tidak naik kelas. Kondisi itu diperparah hanya demi sebuah prestasi sekolah lulus 100%, dan demi predikat dinyatakan sekolah yang baik yang bermuara pada persaingan antarsekolah.
Salah Siapa?
Menyimak hal di atas siapakah yang pantas dipersalahkan? Tentunya bukan hanya orangtua, guru sekolah, masyarakat, pemerintah juga dapat dipersalahkan. Salah satu contoh dengan dianggarkannya besaran dana pendidikan dalam APBN maupun APBD sebasar 20% untuk biaya pendidikan walaupun penggunaan anggaran telah diatur dalam aturan tertentu namun masih ada celah dalam aturan tersebut untuk melakukan praktek korupsi diperparah lagi dengan ketidakjujuran para pejabat daerah maupun pusat sehingga membuka peluang untuk melakukan hal-hal ketidak jujuran lainya. Berita praktik buruk seperti inilah yang kerap di konsumsi para siswa siswi di tengah masyarakat Indonesia.
Praktik buruk lainya yang tanpa disadari akan menjadi konsumsi bahkan diperbincangan oleh para siswa-siswi ialah budaya demo yang dilakukan oleh masyarakat melalui ormas, OKP, dan organisasi organisasi lainnya yang berbuntut kekerasan sehingga menjadi komoditas tontonan yang sangat laku di kalangan pelajar.
Jika kita menyimak kejadian-kejadian terjadinya tawuran antara siswa sekolah, kebanyakan bermuara dari persoalan pribadi yang tidak lebih dari dua orang yang kemudian membawa persoalan tersebut ke lingkungan sekolah sehingga melibatkan siswa lainnya.
Untuk menanggulangi tawuran antara sekolah, selain penerapan norma-norma agama, etika, sopan santun dan adat istiadat dari orang tua masyarakat serta guru.
Pemerintah (eksekutif) bersama legislaitif (DPR) perlu duduk bersama agar mencari formula baru untuk mengantisipasi terjadinya tawuran, dan Pemerintah agar secepat mungkin merumuskan sebuah aturan resmi yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia tentang disiplin siswa tanpa bertentangan dengan aturan lainnya seperti HAM, UU perlindungan anak dan lain-lain. Akhirnya dengan mengedepankan kejujuran, keterbukaan, dan kerjasama semua pihak mari kita wujudkan pendidikan yang jauh dari kekerasan, jauh dari tawuran.
Jumat, 18 Januari 2013
BUDAYA TAWURAN ANTAR PELAJAR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar