Hukum Nikah Beda Agama
Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat
geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di
Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah
kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah
dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak
terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun
tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang
menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang
non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.
Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis,
etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah
dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang
beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu
etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak
masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan
orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang
berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule
Amerika menikah dengan perempuan Batak.
Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi
meniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama,
melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor
modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik seperti
mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat
primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook
dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan
yang segama.
Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandangan
berbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak direstusi Tuhan.
Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap.
Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan.
Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabda
bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yang
harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan
pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan
kepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopiah, tapi peci lah yang mesti mengikuti
besar-kecilnya kepala.
Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka,
nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitu
saja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukan
pilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah pada
kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagai
gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terus
ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
Agumen Teologis Islam
Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam
tiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah
al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah dengan
laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang
orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang
membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok
ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut
mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat
yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan
”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisa membatalkan
yang lain.
Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab.
Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn
Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi
Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal
dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan
Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahi
perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga
perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan
Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan
Ahli Kitab.
Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang
bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya
kepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli
Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya,
jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkan
secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dan
kewaspadaan.
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang
Musyrik dan Kafir sudah dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan
laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Para ulama berpendapat bahwa
tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah. Akan tetapi, ayat pertama
(al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih awal turun, sehingga
dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma’idah ayat 5). Ibn Katsir
mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa
perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221. Dengan
perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrik dan orang kafir seperti
tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10 telah ditakhshish
(dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.
Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin
Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin
Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.
Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.
Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimah
dengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim tak
terbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agama
justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anak
mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab,
peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama.
Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama si
ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab
berkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).
Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada
alasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu
al-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena ia
dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammad
diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilih
menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketika
Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang
istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu
al-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi
umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas
keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusan
dan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.
Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu,
Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali
hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa
kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan
akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahan
Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga tak
perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkan
dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka
Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti
Muhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah
menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.
Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan
Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk
berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau
Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu
Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikah
dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya Abu
Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akan
tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islam
seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.
Bagaimana di Indonesia?
Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian
sejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan
Islam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1
Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut.
Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama
si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan
tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui
pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena
banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya
masing-masing.
Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkan
sokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintah
melarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI
dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan dua
ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarang
melangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.
KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan hanya sebuah
Inpres. Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam
menikahkan para laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai
para hakim agama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia.
Dengan kenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum
yang menjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI
telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau
menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan
merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami
atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan
menentukan pasangan dalam pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar