Minggu, 20 Januari 2013

Mengapa Ada Tawuran?


Mengapa Ada Tawuran?

Akhir-akhir ini, hampir setiap media massa mengkaji berita tentang tawuran atau kekerasan antarpelajar. Hal ini telah menjadi bahan perbincangan publik yang tiada hentinya. Tawuran antar pelajar sudah sangat sering terjadi, bahkan telah membudaya dan turun temurun sejak beberapa tahun terakhir ini. Memang sungguh merupakan fenomena yang memprihatinkan bagi kita semua.
Ada begitu banyak solusi yang telah dilakukan untuk mengatasi tawuran. Namun, hingga kini tawuran itu masih saja terjadi di bumi pertiwi ini. Ternyata jika dinilai keakuratannya, solusi yang dilakukan hanya sebatas opini belaka karena kurang menemukan alasan atau penyebabnya. Penyebab tawuran sangatlah komplek. Berikut ini ada beberapa penyebab yang disimpulkan dari hasil wawancara dengan beberapa pelajar yang sering terlibat dalam tawuran. Hal yang menjadi faktor penyebab antara lain:

a. Faktor pribadi
Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di lain pihak, ia harus mengembangkan identitas diri secara positif. Ia harus beralih dari reaksi kekanak-kanakan ke pertimbangan yang lebih rasional dan dewasa. Oleh karena itu, remaja perlu memiliki pedoman tata nilai yang jelas. Jika tidak, maka terjadi kekaburan nilai. Apa lagi jika tidak ada tokoh yang dapat dijadikan panutan atau norma-norma masyarakat juga kabur dan tidak jelas. Terjadilah krisis identitas pada diri remaja.
Tidak tercapainya identitas diri yang positif, menimbulkan ketegangan (stress) dan kecemasan pada remaja. Kekerasan merupakan sikap agresif sebagai pelampiasan rasa frustasi. Mereka mengambil identitas negatif dan terjerumus pada kenakalan remaja. Bagi mereka, lebih baik memperoleh suatu identitas, walaupun negative daripada terombang-ambing dalam ketidaktentuan diri.
b. Faktor lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang utama dan pertama bagi seorang anak. Jika suasana keluarga kurang mendukung, pasti terjadi gangguan perkembangan kejiwaan anak. Sumbernya, antara lain rumah tangga kacau; orang tua sibuk dan kurang memperhatikan kebutuhan kasih sayang bagi anak; orang tua terlalu memanjakan anak; kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak; perilaku orang tua yang “tidak dewasa” dan menyimpang.
Oleh karena itu keterlibatan orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak pada nilai-nilai moral hendaknya diperhatikan. Orang tua harus mampu menjadi sahabat untuk anak-anaknya. Tanggung jawab orang tua bukanlah sekedar membesarkan anak, tetapi peran aktif orang tua dalam melihat perkembangan kepribadian anak sangat diperlukan.
c. Faktor lingkungan kelompok sebaya
Jika kondisi di rumah kurang menunjang, anak akan mencari perhatian dan identitas diri di luar. Pengaruh kelompok sebaya sangat besar. Remaja ingin diterima kelompok sebayanya sehingga mau mengikuti “peraturan” dan norma yang ditetapkan kelompok. Ada rasa bangga karena banyak kawan dan merasa diri popular. Ukuran popularitas adalah kemewahan, kekuatan fisik, kelihaian, dan sebagainya.
d. Faktor lingkungan sekolah
Kondisi sekolah yang tidak menguntungkan proses pendidikan pada anak, keadaan guru dan system pengajaran yang tidak menarik, menyebabkan anak cepat bosan. Lingkungan sekolah tidak menarik perhatian anak. Untuk menyalurkan rasa tidak puasnya, mereka meninggalkan sekolah dan bergabung dengan kelompok anak-anak yang tidak sekolah, yang pekerjaannya hanya berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Jumlah siswa yang terlalu besar, kesenjangan sosial-ekonomi, baik antara para pelajar maupun antara pelajar dengan guru; disiplin dan tata tertib sekolah yang rendah; kurangnya sarana dan prasarana sekolah; kurikulum yang kurang memadai; guru yang kurang dedikasi atau kurang memahami didaktik atau metodik mengajar; kurangnya kegiatan ekstrakurikuler, merupakan faktor penyebabnya.
Belum lagi, jika sekolah pun acuh tak acuh pada anak didik. Mereka tidak peduli dengan perkembangan siswanya. Pihak sekolah abai membantu mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Dengan bahasa lain, sekolah jalan sendiri tanpa memperhatikan secara optimal keberadaan pelajar di sekolah. Walhasil, siswa mencari identitas dan eksistensi secara mandiri. Apabila pelajar terjebak pada geng-geng, pergaulan kelompok yang tak produktif sekolah jangan menyalahkan siswa. Pihak sekolah harus mengintrospeksi diri tentang mekanisme yang dilakukan sekolah dalam mendidik siswanya.
e. Faktor lingkungan masyarakat
Kondisi soial-ekonomi, besarnya jurang antara kelompok yang ‘punya’ dan ‘yang tidak punya’; kurangnya sarana transportasi, lingkungan fisik perkotaan dan yang tidak mendukung perkembangan diri anak dan remaja, situasi politik yang tidak menentu, lemahnya penegakan hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan pengaruh media massa merupakan penyebab meningkatnya budaya kekerasan.
Dengan melihat fenomena runyam dan memprihatinkan ini, sudah sepantasnya bagi kita semua untuk mencoba mencari solusi atau jawaban atas realita yang ada. Tawuran atau kekerasan antarpelajar kini harus dicegah, karena masa depan bangsa ini sesungguhnya ada di tangan mereka. Bagaimana jadinya bangsa ini, jika mental generasi penerusnya sudah seperti ini? Bukankah itu merupakan suatu kegagalan besar bagi bangsa ini?
Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan ide yang signifikan untuk mencegah agar tindakan anarkisme pelajar sekolah tidak lagi terulang di Jakarta atau di daerah-daerah lain. Tindakan brutal bukan cermin kepribadian pelajar dan dunia pendidikan negeri ini. Karena itu, kita berharap pemerintah, sekolah, lingkungan sosial, keluarga dapat bersinergi mengatasi tawuran pelajar yang sangat meresahkan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar